Berbicara tentang
administrasi publik di Indonesia, maka tentunya tidak akan terlepas dari pembahasan
tentang administrasi negara, karena sejak sebelum tahun 1980an, public administration di Indonesia
diterjemahkan dengan administrasi negara.
Banyak sekali definisi tentang administrasi negara yang dikemukakan para pakar, baik dari lingkungan akademik, maupun dari kalangan praktisi. Sehubungan dengan hal tersebut, Henry menyarankan dalam Thoha (2008:18) :
Banyak sekali definisi tentang administrasi negara yang dikemukakan para pakar, baik dari lingkungan akademik, maupun dari kalangan praktisi. Sehubungan dengan hal tersebut, Henry menyarankan dalam Thoha (2008:18) :
Untuk memahami
lebih jauh tentang administrasi negara, sebaiknya dipahami lewat paradigma.
Lewat paradigma ini akan diketahui ciri-ciri dari administrasi negara.
Paradigma dalam administrasi negara amat bemanfaat, karena dengan demikian
seseorang akan mengetahui tempat di mana
bidang ini dipahami dalam tingkatannya yang sekarang ini.
Paradigma ini dianggap
penting oleh Henry dalam upaya memahami administrasi negara, karena nantinya
akan diperoleh pemahaman melalui diketahuinya ciri-ciri administrasi negara,
sehingga nantinya akan dapat dipahami lokus dan fokus dari administrasi negara
ini. Hal ini seperti dikemukakan Golembiewski dalam Thoha (2008:18) : “paradigma
dalam administrasi hanya dapat dimengerti dalam hubungannya dengan
istilah-istilah lokus dan fokusnya”.
Golembiewski
lebih menegaskan pendapat Henry bahwa
memahami administrasi negara melalui pemahaman paradigma akan sampai
kepada pengetahuan tentang lokus dan fokus dari bidang yang digeluti, sehingga
administrasi negara akan dapat lebih dipahami secara spesifik.
Upaya pemahaman dan
menganalisis terhadap perkembangan ilmu administrasi negara ini telah dilakukan
dengan berbagai cara, seperti yang dilakukan oleh Golembiewski dalam
Kartasasmita (1997:19) :
Melalui metode
pendekatan matriks locus dan focus
yang menghasilkan empat fase dalam perkembangan ilmu administrasi negara.
Fase-fase tersebut adalah (1) fase perbedaan analitik politik dari
administrasi, (2) fase perbedaan konkrit politik dari administrasi, (3) fase
ilmu manajemen, dan (4) fase orientasi terhadap kebijakan publik. Dan tiga
paradigma komprehensif dalam perkembangan ilmu administrasi negara, yaitu (1)
paradigma tradisional, (2) paradigma sosial psikologi, dan (3) paradigma
kemanusiaan (humanist/ systemics).
Berdasarkan pendapat
Golembiewski tentang pendekatan matriks lokus dan fokus, perkembangan ilmu
administrasi negara dapat diklasifikasikan ke dalam empat fase. Hal ini penting
diketahui agar kronologis perkembangan administrasi negara dan sumbangannya
terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara dapat terlacak dari waktu ke
waktu.
Pendapat lain dalam
menganalisis perkembangan ilmu administrasi negara ini adalah pandangan Bailey yang
dikemukakan oleh Nicholas Henry dalam Kartasasmita (1997:19) :
Bahwa untuk
analisis administrasi negara sebagai ilmu harus diterapkan empat teori, yaitu
teori deskriptif, normatif, asumtif dan instrumental, dengan tiga soko guru
pengertian ( defining pillars )
administrasi negara, yaitu (1) perilaku organisasi dan perilaku manusia dalam
organisasi publik, (2) teknologi manajemen dan lembaga-lembaga pelaksana
kebijaksanaan, dan (3) kepentingan publik yang berkaitan dengan perilaku etis
individual dan urusan publik.Dan lima paradigma yang berkembang dalam
administrasi negara, yaitu (1) dikotomi politik/ administrasi, (2)
prinsip-prinsip administrasi, (3) administrasi negara sebagai ilmu politik, (4)
administrasi negara sebagai ilmu manajemen, dan (5) administrasi negara sebagai
administrasi negara.
Pendapat Henry
ini juga menekankan,
dalam upaya untuk memahami administrasi negara ini, disamping dilakukan
melalui berbagai kajian teori, maka perlu dipahami pula melalui pemahaman
paradigma. Pada dasarnya apa yang
dikemukakan Henry seirama dengan yang dikemukakan Golembiewsky.
Berbagai
pandangan, teori dan paradigma tersebut akan mengenalkan ciri-ciri yang dapat
dipergunakan untuk mengidentifikasi administrasi negara. Ciri-ciri administrasi negara ini dikemukakan
Thoha (2008:36-38), sebagai berikut :
Pertama, administrasi negara adalah
suatu kegiatan yang tidak bisa dihindari (unavoidable).
Setiap orang selama hidupnya selalu berhubungan dengan administrasi negara.
Mulai dari lahir sampai meninggal dunia, orang tidak bisa melepaskan diri dari
sentuhan kegiatan administrasi negara,
baik warga negara ataupun orang asing.
Kedua, administrasi negara memerlukan
adanya kepatuhan. Dalam hal ini administrasi negara mempunyai monopoli
untuk mempergunakan wewenang dan
kekuasaan yang ada padanya untuk memaksa setiap warga negara mematuhi
peraturan-peraturan dan segala perundangan yang telah ditetapkan.
Ketiga, administrasi negara mempunyai
prioritas.
Banyak kegiatan yang bisa dilakukan oleh administrasi negara. Dari sekian
banyaknya tersebut tidak lalu semuanya diborong olehnya. Prioritas diperlukan
untuk mengatur pelayanan terhadap masyarakat.
Keempat, administrasi negara mempunyai ukuran yang
tidak terbatas. Besar lingkup kegiatan administrasi negara meliputi seluruh
wilayah negara, di darat, di laut dan di udara.
Kelima, pimpinan atasnya (top management) bersifat politis. Administrasi negara dipimpin
oleh pejabat-pejabat politik. Hal ini berarti pimpinan tertinggi dari administrasi
negara dijabat oleh pejabat yang dipilih atau diangkat berdasarkan
ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Keenam,
pelaksanaan administrasi negara adalah sangat sulit diukur. Oleh
karena kegiatan administrasi negara sebagiannya bersifat politis dan tujuan di
antaranya untuk mencapai perdamaian, keamanan, kesehatan, pendidikan, keadilan,
kemakmuran, pertahanan, kemerdekaan, dan persamaan, maka hal tersebut tidak
mudah untuk diukur.
Ketujuh, banyak yang diharapkan dari administrasi
negara. Dalam hubungan ini akan terdapat dua standar penilaian. Satu pihak
masyarakat menghendaki administrasi negara berbuat banyak untuk memenuhi
kebutuhan mereka. Di pihak lain administrasi negara mempunyai kemampuan,
keahlian, dana, dan sumber-sumber lain yang terbatas.
Uraian
ciri-ciri administrasi negara tersebut lebih menunjukkan betapa besar sekali kekuasaan negara dan
bersifat monopoli, padahal di lain pihak akuntabilitas terhadap pelaksanaan
tugasnya sulit diukur, maka terhadap
hal tersebut banyak sekali pandangan dan pendapat dari para intelektual muda
yang menginginkan perubahan orientasi public
administration (administrasi negara), dari
lebih memerankan negara menjadi lebih memerankan rakyat.
Wilson dalam menyikapi konsep administrasi Negara ini, memberikan saran dalam Thoha ( 2008:72 ) :
Agar
pemerintahan itu mempunyai struktur mengikuti model bisnis yakni mempunyai
eksekutif otoritas, pengendalian (controlling),
yang amat penting mempunyai struktur organisasi hierarki, dan upaya untuk
melaksanakan kegiatan mewujudkan tujuan itu dilakukan secara efisien. Konsep
seperti ini yang dikenal sebagai “the Old
of Public Administration”. Tugasnya adalah melaksanakan kebijakan dan
memberikan pelayanan. Tugas semacam ini dilaksanakan dengan netral, profesional
dan lurus (faithfully) mengarah
kepada tujuan yang telah ditetapkan.
Pendapat Wilson
tersebut menekankan agar konsep ilmu administrasi negara yang berjalan selama
ini perlu mengadopsi struktur model bisnis, yang berintikan efisiensi, dan
konsep tersebut dikenal dengan istilah the
old of Public administration. Thoha
(2008:73-74) menyimpulkan
ide inti dari the old of Public administration adalah sebagai berikut :
1. Titik
perhatian pemerintah adalah pada jasa pelayanan yang diberikan langsung oleh
dan melalui instansi-instansi pemerintah yang berwenang.
2. Public policy dan administration berkaitan dengan merancang dan melaksanakan
kebijakan-kebijakan untuk mencapai tujuan-tujuan politik.
3. Administrasi
publik hanya memainkan peran yang lebih kecil dari proses pembuatan
kebijakan-kebijakan pemerintah ketimbang upaya untuk melaksanakan (implementation) kebijakan publik.
4. Upaya
memberikan pelayanan harus dilakukan oleh para administrator yang bertanggung
jawab kepada pejabat politik dan yang diberikan diskresi terbatas untuk
melaksanakan tugasnya.
5. Para
administrator bertanggung jawab kepada pemimpin politik yang dipilih secara
demokratis.
6. Program-program
kegiatan diadministrasikan secara baik melalui garis hierarki organisasi dan
dikontrol oleh para pejabat dari hierarki atas organisasi.
7. Nilai-nilai
utama (the primary values) dari
administrasi publik adalah efisiensi dan rasionalitas.
8. Administrasi
publik dijalankan sangat efisien dan sangat tertutup, karena itu warga negara
keterlibatannya amat terbatas.
9.
Peran dari administrasi publik dirumuskan
secara luas seperti planning, organizing,
staffing, directing, coordinating, reporting, budgeting.
Berdasarkan uraian di atas, bahwa
administrasi publik generasi lama lebih menekankan kepada kepentingan politik
dan memberi porsi yang kecil kepada peran masyarakat, dengan keterlibatan
masyarakat yang sangat terbatas, sehingga sangat dirasakan ruang gerak
partisipasi masyarakat sangat sempit, yang pada gilirannya pelayanan kepada
masyarakat sangat tidak memuaskan.
Lantas apa definisi
dari administrasi publik, yang saat ini sebagai ilmu berkembang dengan pesat. Pengertian
administrasi publik dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Administrasi_publik
:
Administrasi
publik adalah suatu bahasan ilmu sosial yang mempelajari tiga elemen penting
kehidupan bernegara, yang meliputi lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif
serta hal-hal yang berkaitan dengan publik yang meliputi kebijakan
publik,
tujuan negara dan etika dalam mengatur penyelenggaraan negara.
Lokusnya adalah tempat yang menggambarkan di mana ilmu tersebut berada, yaitu
kepentingan publik (public interest)
dan urusan publik (public affair),
serta fokusnya adalah apa yang menjadi pembahasan penting dalam mempelajari
ilmu administrasi publik,yaitu teori organisasi dan ilmu manajemen.
Inti pengertian
tersebut di atas adalah bahwa administrasi publik mempelajari pemerintahan
dalam arti luas, yaitu meliputi lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif
serta terkait dengan masalah publik, yang meliputi tiga hal, yaitu kebijakan
publik, tujuan negara dan etika dalam tata cara penyelenggaraan negara.
John
M. Pffifner dan Robert V. Presthus memberikan definisi tentang administrasi
public dalam Syafiie, Tandjung dan Modeong ( 2006:24,25 ) :
1.
Public Administration involves the implementation of public policy which
has been determine by representatative political bodies.
2.
Public Administration may be defined as the coordination individual and
group efforts to carry out public policy. It is, mainly accupied with the daily
work of governments.
3.
In sum, public administration is a process concerned with carrying out
public policies, encompassing innumerable skills and techniques large numbers
of people.
Definisi
dari Pfiffner dan Presthus tersebut kalau dialihbahasakan adalah :
1.
Administrasi
Publik meliputi implementasi kebijakan pemerintah yang telah ditetapkan oleh
badan perwakilan politik.
2.
Administrasi
Publik dapat didefinisikan sebagai koordinasi usaha-usaha perorangan dan
kelompok untuk melaksanakan kebijakan pemerintah. Hal ini terutama meliputi
pekerjaan sehari-hari pemerintah.
3.
Secara global,
administrasi public adalah sebuah proses yang bersangkutan dengan
kebijakan-kebijakan pemerintah, pengarahan kecakapan teknik-teknik yang tidak
terhingga jumlahnya, memberikan arah dan maksud terhadap usaha sejumlah orang.
Berdasarkan
definisi dari Pfiffner dan Presthus, administrasi publik sangat berkaitan
dengan segala kebijakan pemerintah, yang merupakan implementasi dari keputusan
Badan Perwakilan Politik. Pengertian administrasi
publik juga dikemukakan oleh Soempono pada saat pidato pengukuhannya sebagai
guru besar di Universitas Gajah Mada dalam Thoha (2008:44) :
Administrasi
negara atau public administration
biasanya yang dimaksud ialah “bagian dari
keseluruhan lembaga-lembaga dan badan-badan dalam pemerintahan negara sebagai
bagian dari pemerintah eksekutif baik di pusat maupun di daerah yang tugas
kegiatannya terutama melaksanakan kebijaksanaan pemerintah (public policy).
Pendapat Soempono
tersebut dengan tegas menjelaskan bahwa administrasi negara adalah badan- badan
pemerintah, baik di pusat ataupun di daerah yang kegiatannya terutama
melaksanakan kebijakan pemerintah. Thoha (2008:44) menambahkan
:
Walaupun
public administration diterjemahkan
administrasi negara sebagai perwujudan perhatiannya pada kegiatan negara, akan
tetapi Soempono juga telah mengingatkan bahwa pelaksanaan administrasi negara
itu ditujukan untuk kepentingan publik/ masyarakat. Dengan demikian,
kepentingan masyarakat merupakan titik perhatian utama administrasi negara.
Penjelasan
dari Thoha ini menegaskan bahwa pendapat Soempono tidak hanya menegaskan administrasi negara
sebagai aktifitas negara saja, tapi juga terkandung makna bahwa dalam
pelaksanaan administrasi negara tersebut diarahkan untuk kepentingan
masyarakat. Warsito
Utomo mengemukakan pendapatnya tentang pengertian ilmu administrasi publik ini dalam Thoha (2008:52-53) :
Dalam
perkembangan konsep ilmu Administrasi Negara maka telah terjadi pergeseran
titik tekan dari Administration of Public
di mana negara sebagai agen tunggal implementasi fungsi negara/ pemerintahan; Administration for Public yang
menekankan fungsi negara/ pemerintahan yang bertugas dalam Public Service; ke Administration
by Public yang berorientasi bahwa public
demand are differentiated, dalam arti fungsi negara/pemerintah hanyalah
sebagai fasilitator, katalisator yang bertitik tekan pada putting the costumers in the driver seat. Dimana determinasi
negara/ pemerintah tidak lagi merupakan faktor atau aktor utama atau sebagai driving forces. Dalam hal ini
sesungguhnya juga telah terjadi perubahan makna public sebagai Negara, menjadi public
sebagai Masyarakat. Bukan lagi terlalu berorientasi kepada aktivitas oleh
negara, tetapi oleh, untuk dan kepada masyarakat. Approach atau pendekatan tidak lagi kepada negara tetapi lebih
kepada masyarakat atau customer’s
oriented atau customer’s approach.
Dan hal ini juga sesuai dengan tuntutan perubahan dari government yang lebih menitik beratkan kepada “otoritas” menjadi governance yang menitik beratkan kepada
“kompatibilitas” di antara para aktornya, yaitu State (Pemerintah), Private
(Sektor Swasta) dan Civil Society
(Masyarakat Madani).
Warsito Utomo
berpendapat adanya perubahan paradigma dari yang asalnya negara sebagai agen
tunggal pelaksanaan fungsi negara/pemerintahan, menjadi hanya berfungsi sebagai
fasilitator dan katalisator, dengan memberi peran yang berimbang kepada
pemerintah, swasta dan masyarakat. Pendapat ini lebih ditegaskan oleh Thoha (2007:51)
:
Sekarang
paradigma Ilmu Administrasi Publik dan Manajemen Pemerintahan telah banyak
berubah dari yang sarwa negara ke sarwa masyarakat. Oleh karena itu, pemahaman
istilah publik seperti yang dilekatkan sebagai predikat pada istilah administration hendaknya dipahami
sebagai predikat terhadap proses kepemerintahan yang selaras dengan perubahan
paradigma tersebut. Dengan demikian istilah administrasi publik dapat diartikan
sebagai administrasi pemerintahan yang dilakukan oleh aparat pemerintah untuk kepentingan
masyarakat. Pemahaman seperti ini hakekatnya merupakan jiwa dari ilmu
administrasi negara yang sejak pertama kali dikembangkan dan tujuan
eksistensinya untuk melayani kepentingan masyarakat pada umumnya.
Pendapat Thoha
di atas, disamping menegaskan adanya perubahan paradigma, juga secara tegas
menjelaskan tentang definisi administrasi publik, yaitu administrasi
pemerintahan yang dilakukan oleh aparat pemerintah untuk kepentingan
masyarakat. Titik berat administrasi publik saat ini adalah pelayanan kepada
kepentingan rakyat, bukan lagi untuk melayani kepentingan negara/ pemerintah.
Asumsi yang
dapat ditarik dari uraian para ahli tersebut adalah bahwa peranan Ilmu
Administrasi Publik tersebut sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Persoalan utama yang perlu dipertegas adalah pemahaman tentang administrasi publik
itu, yang pada awalnya banyak dipraktekkan sebagai suatu alat bagi kekuasaan,
sehingga nampak seperti sarwa negara, karena
sangat kurang memerankan masyarakatnya. Seiring dengan
berjalannya sang waktu, orientasi administrasi negara atau administrasi publik
kini telah berubah, di mana administrasi publik telah memberikan ruang yang
cukup besar dan berimbang antara peran pemerintah, sektor swasta dan masyarakat.
Saat ini sudah
banyak pembaharuan pemikiran dan perhatian dari administrasi publik untuk
mewujudkan kesejahteraan masyarakat, dengan berbagai konsep maupun
implementasinya. Salah satu bentuk
perhatian yang ditunjukkan administrasi publik adalah terhadap tata
kepemerintahan yang baik, yang pada gilirannya diharapkan dapat mewujudkan
kesejahteraan masyarakat, seperti dikemukakan Thoha (2008:91) :
Administrasi
publik sangat perhatian terhadap terwujudnya tata kepemerintahan yang baik dan
amanah. Tata kepemerintahan yang baik (good
governance) itu diwujudkan dengan lahirnya tatanan kepemerintahan yang
demokratis dan diselenggarakan secara
baik, bersih, transparan dan berwibawa. Tata kepemerintahan yang demokratis
menekankan bahwa lokus dan fokus kekuasaan itu tidak hanya berada di
pemerintahan saja, melainkan justru harus beralih dan terpusat pada tangan
rakyat. Penyelenggaraan tata kepemerintahan yang baik terletak seberapa jauh
konstelasi antara tiga komponen, yaitu rakyat, pemerintah dan pengusaha berjalan
secara kohesif, selaras, kongruen dan sebanding. Berubahnya
sistem keseimbangan antara tiga komponen
tersebut bisa melahirkan berbagai macam penyimpangan termasuk korupsi, kolusi
dan nepotisme berikut tidak ditegakkannya hukum secara konsekuen”.
Pendapat Thoha
tersebut mengisyaratkan agar seiring dengan perubahan paradigma administrasi
publik dari yang awalnya kekuasaan terpusat pada negara kemudian pada
perkembangan kini menjadi beralih ke tangan rakyat, harus dibarengi dengan adanya keseimbangan pada
tiga komponen, yaitu rakyat, pemerintah dan pengusaha. Thoha (2007:54) lebih
lanjut mengemukakan pendapatnya tentang peran Ilmu Administrasi Publik ke depan
:
Menurut
saya Ilmu Administrasi Publik merupakan suatu kajian yang sistematis dan tidak
hanya sekedar lukisan abstrak akan tetapi memuat perencanaan realitas dari
segala upaya dalam menata pemerintahan kepada kepemerintahan yang baik (good governance). Kajian ini meliputi
proses pembuatan kebijakan, pelaksanaan kebijakan, dan evaluasi kebijakan. Kebijakan
publik yang dibuat oleh negara atau pemerintah bersama dengan rakyat
direalisasikan dalam kehidupan nyata, bukannya berhenti sampai pada tingkat
slogan seperti beberapa waktu yang lalu. Oleh karena itu, Ilmu Administrasi
Publik berkepentingan untuk mengambil peran mewujudkannya.
Peranan
administrasi publik dalam menata pemerintahan harus dapat terimplementasikan
dalam bentuk kebijakan publik, baik dalam prosesnya, pelaksanaannya maupun
evaluasinya, yang dapat direalisasikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara, sehingga akan terasa makna perannya tersebut.
Banyak sekali permasalahan
dalam kehidupan bernegara yang menuntut perhatian untuk segera ditangani,
karena kalau dibiarkan, akan menjadi suatu penyakit kronis di kemudian hari.
Masalah-masalah tersebut kadang-kadang ada yang bersifat biasa, namun
kadang-kadang pula bersifat fundamental dan pelik, seiring dengan perkembangan
dinamika kehidupan masyarakat dan negara.
Upaya
administrasi publik dalam memecahkan permasalahan tersebut, diimplementasikan dalam bentuk
kebijakan (publik). Kadang-kadang sering terjadi kerancuan antara pengertian
kebijakan dan keputusan, seperti dikemukakan Thoha (2008:102) :
Suatu
usaha untuk membedakan antara pembuatan kebijakan dengan pembuatan keputusan
pada umumnya dan keputusan pemerintah pada khususnya sering dilakukan dengan
tanpa memberi kepuasan. Banyak orang menafsirkan bahwa public policy adalah hasil dari suatu pemerintahan dan administrasi
negara adalah sarana untuk memengaruhi terjadinya hasil-hasil tersebut.
Sehingga dengan demikian public policy
lebih diartikan sebagai apa yang dikerjakan oleh pemerintah dibandingkan
daripada bagaimana proses hasil-hasil itu dibuat. Proses pembuatan
kebijaksanaan atau proses public policy
itu tidak mudah. Ia memerlukan suatu rasa tanggung jawab yang tinggi dan suatu
kemauan untuk mengambil inisiatif dan risiko.
Asumsi yang
dapat diambil dari pendapat tersebut di atas adalah bahwa kebijakan publik itu
bukan semata-mata hanya pengambilan keputusan pemerintah, tapi ia adalah sebuah
proses yang dilakukan berdasarkan suatu rasa tanggung jawab yang tinggi,
disertai kemauan untuk mengambil inisiatif dan penuh risiko. Pengertian kebijakan
publik (public policy) banyak
dikemukakan para ahli, diantaranya dikemukakan Thoha (2008:106) :
Policy
mempunyai
dua aspek pokok, yaitu :
1) Policy merupakan praktika sosial,
ia bukan event yang tunggal atau terisolir. Dengan demikian, sesuatu yang
dihasilkan pemerintah berasal dari kejadian dalam masyarakat dan dipergunakan
pula untuk kepentingan masyarakat.
2) Policy adalah suatu peristiwa yang
ditimbulkan oleh baik yang untuk mendamaikan claim dari pihak-pihak yang konflik, atau untuk menciptakan incentive bagi tindakan bersama bagi
pihak-pihak yang ikut menetapkan tujuan akan tetapi mendapatkan perlakuan yang
tidak rasional dalam usaha bersama tersebut.
Pendapat Thoha
di atas menegaskan bahwa policy
( kebijakan ) adalah sebuah keputusan
pemerintah yang didasarkan atas kejadian
yang ada di masyarakat guna kepentingan masyarakat itu sendiri atau juga dapat
berupa upaya-upaya untuk menumbuhkan ketentraman di masyarakat.
Definisi
kebijakan publik, dikemukakan Thomas R Dye, dalam Indiahono (2009:17) : “Public policy is whatever government choose
to do or not to do” (Kebijakan publik adalah pilihan pemerintah untuk
bertindak atau tidak bertindak). Rumusan definisi dari Thomas R Dye ini
dikritik beberapa ahli sebagai suatu pengertian yang terlalu umum, dan bahkan
dianggap sama dengan pengertian “keputusan”, maka kemudian ada beberapa
pendapat lain, diantaranya dari Carl Friedrich dalam Santosa (2008:35) yang
mendefinisikan kebijakan publik sebagai : “ Seperangkat tindakan yang dilakukan
pemerintah dengan suatu tujuan dan diarahkan untuk mencapai sasaran dan tujuan
yang telah ditetapkan”. Pendapat Carl Friedrich ini mengarah kepada kekuatan
yang saling mempengaruhi dan melakukan tekanan kepada para pihak untuk
pencapaian tujuan tertentu. Kemudian Anderson dalam Santosa (2008:35)
mendefinisikan kebijakan publik sebagai : ”Kegiatan-kegiatan pemerintah untuk
mengatasi sesuatu masalah”.
Rumusan-rumusan dari para ahli tersebut masing-masing bukannya tanpa
kelemahan, karena memang kebijakan publik tersebut kalau diartikan terlalu umum
seperti yang dikemukakan Dye menjadi tidak fokus, tapi bila terlalu ringkas,
seperti pendapat Anderson, yang mengatakan sebagai tindakan pemerintah
mengatasi masalah, memberi kesan kebijakan publik tersebut bersifat represip,
tidak lagi bersifat antisipatif, apalagi perspektif.
Easton dalam
Thoha (2008:107) merumuskan tentang kebijakan publik sebagai berikut : “the authoritative allocation of value for the whole society but it
turns out that only the government can authoritatively act on the ‘whole’
society, and everything the government choose to do or not to do results in the
allocation of values”.
Definisi
dari Easton tersebut menyebutkan bahwa kebijakan publik itu sebagai
pengalokasian nilai-nilai kepada masyarakat secara keseluruhan, kemudian
ditegaskan bahwa hanya pemerintah yang dapat bertindak otoritatif terhadap
masyarakat, baik melakukan tindakan atau pembiaran.
Pemerintah
sepertinya sah-sah saja bila tidak berupaya mengambil tindakan terhadap
berbagai peristiwa yang terjadi di masyarakat.
Namun
justru
disinilah permasalahannya, karena bila pemerintah bersikap diam, berarti
pemerintah telah melakukan “pembiaran”, dan hal ini akan menjadi ancaman yang dapat membahayakan keselamatan masyarakat,
seperti mengakibatkan menggejalanya tingkat ketidakdisiplinan masyarakat,
amburadulnya perekonomian, bahkan kejahatan dapat merajalela. Implikasi dari
suatu kebijakan publik besar sekali pengaruhnya terhadap kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Hasil dari suatu kebijakan publik ini agar
dapat sesuai atau minimal mendekati harapan masyarakat, maka dalam implementasinya diperlukan
suatu administrasi publik yang mempunyai komitmen kuat terhadap kepentingan
rakyat, dengan dibimbing oleh suatu kepemimpinan yang sesuai dengan situasi dan
kondisi masyarakat. Hal
ini diperlukan, apalagi mengingat
tantangan
yang dihadapi administrasi publik saat ini demikian kompleks, seperti
dikemukakan Kartasasmita
( ebook/browse.com/orasi-Ginanjar-pdf ) :
Tantangan besar yang dihadapi
administrasi publik dihampir semua negara adalah, prevalensi dari patologi birokrasi, yaitu kecenderungan
mengutamakan kepentingan sendiri (self-serving),
mempertahankan status- quo dan
resisten terhadap perubahan, cenderung terpusat (centralized), dan dengan kewenangannya yang besar, sering kali
memanfaatkan kewenangan itu untuk kepentingan sendiri.
Prevalensi
atau meratanya dari patologi birokrasi, kalau dibiarkan akan sangat
membahayakan tujuan negara, yaitu kesejahteraan masyarakat, karena administrasi
publik asyik dengan dirinya sendiri, padahal keberadaannya itu adalah dalam
rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat, tapi ini malah sebaliknya. Basuki (hhtp://www.stialan.ac.id/artikel%20j%20Basuki.pdf), menambahkan patologi
birokrasi ini, yakni;
(1) kekurangmampuan pimpinan
menerapkan gaya kepemimpinan yang tepat; (2) orientasi kekuasaan dan bukan pada
pelayanan (3) rendahnya profesionalisme
birokrasi pemerintah; (4) primordialisme,
kronisme, dan nepotisme; (5) sikap mengabaikan norma-norma moral dan etika;
(6) tidak taat azas; (7) perilaku disfungsional para birokrasi, dan (8) budaya
organisasi yang tidak kondusif dalam penciptaan, penumbuhan, dan pemeliharaan
etos kerja yang tercermin dalam loyalitas kepada negara, disiplin kerja,
kepatuhan, dan ketekunan, serta (9) inkonsistensi kebijakan yang berdampak pada
makin menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat dan dunia usaha terhadap
pemerintah.
Uraian Basuki tentang patologi birokrasi
ini demikian menyeramkan, karena semua unsur yang dikemukakan akan berdampak
sangat luas terhadap kebijakan publik, yang pada gilirannya akan membahayakan
kehidupan bernegara. Gambaran Basuki di atas mencakup pula variabel yang
mempengaruhi efektivitas organisasi yang sedang peneliti amati, yaitu butir ke
(1) kekurangmampuan pimpinan menerapkan gaya kepemimpinan yang tepat dan butir
ke (8) budaya organisasi yang tidak kondusif dalam penciptaan, penumbuhan, dan
pemeliharaan etos kerja yang tercermin dalam loyalitas kepada negara, disiplin
kerja, kepatuhan dan ketekunan.
Demikian banyaknya penyakit birokrasi
ini, sehingga akan menghambat dan menambah beban tugas administrasi publik
dalam melaksanakan misinya mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Guna mengatasi
hal tersebut, maka perlu dicari formula yang tepat agar kebijakan publik dapat
mencapai sasaran yang diharapkan. Basuki (hhtp://www.stialan.ac.id/artikel%20j%20Basuki.pdf)
mengemukakan tentang formula tersebut,
sebagai berikut :
Salah
satu inti permasalahan dalam administrasi publik dan kebijakan publik adalah faktor ”paradigma kepemimpinan” yang diharapkan memiliki
kemampuan memimpin organisasi di masa depan. Berdasarkan
perspektif teoritis, para ahli administrasi publik
sepakat bahwa kepemimpinan merupakan inti administrasi dan manajemen. Sebagai
inti yang memiliki peran sentral, menunjukkan bahwa pada tataran organisasi,
kepemimpinan didudukkan pada posisi yang sangat stratejik. Para pemimpin
dipercaya, mampu memandu perjalanan organisasi ke arah tujuan yang telah
ditentukan sebelumnya. Dalam berbagai
kajian dan pengalaman empirik, membuktikan bahwa peran kepemimpinan organisasi
menjadi penggerak, pengungkit, pendorong, pelindung, pelayan sekaligus sebagai
penanggungjawab berbagai aktivitas organisasi.
Berdasarkan pendapat Basuki tersebut, masalah
kepemimpinan sangat strategis dalam
penanganan administrasi public dan kebijakan public dan
aplikasinya harus beranjak dari pandangan bahwa pemimpin publik harus mengenali
secara tepat dan utuh baik mengenai dirinya, bawahannya maupun kondisi dan
aspirasi masyarakat yang dipimpinnya, serta perkembangan dan permasalahan
lingkungan stratejik yang dihadapi dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk
paradigma dan sistem administrasi di mana ia berperan.
JT Marriott Cherokee Casino Resort - Travelhub
BalasHapusLocated just minutes from the Cherokee Outlets, JT Marriott Cherokee 경산 출장마사지 Casino Resort is a popular destination for business travelers. This 4-star property 안산 출장마사지 Rating: 5 익산 출장마사지 · 충청북도 출장샵 9 reviews · Price range: 계룡 출장마사지 from 169 USD