Jumat, 03 Agustus 2012

LINGKUP ADMINISTRASI PUBLIK


Berbicara tentang administrasi publik di Indonesia, maka tentunya tidak akan terlepas dari pembahasan tentang administrasi negara, karena sejak sebelum tahun 1980an, public administration di Indonesia diterjemahkan dengan administrasi negara.
Banyak sekali definisi tentang administrasi negara yang dikemukakan para pakar, baik dari lingkungan akademik, maupun dari kalangan praktisi. Sehubungan dengan hal tersebut, Henry menyarankan dalam Thoha (2008:18) :
Untuk memahami lebih jauh tentang administrasi negara, sebaiknya dipahami lewat paradigma. Lewat paradigma ini akan diketahui ciri-ciri dari administrasi negara. Paradigma dalam administrasi negara amat bemanfaat, karena dengan demikian seseorang akan mengetahui  tempat di mana bidang ini dipahami dalam tingkatannya yang sekarang ini.

Paradigma ini dianggap penting oleh Henry dalam upaya memahami administrasi negara, karena nantinya akan diperoleh pemahaman melalui diketahuinya ciri-ciri administrasi negara, sehingga nantinya akan dapat dipahami lokus dan fokus dari administrasi negara ini. Hal ini seperti dikemukakan Golembiewski dalam Thoha (2008:18) : “paradigma dalam administrasi hanya dapat dimengerti dalam hubungannya dengan istilah-istilah lokus dan fokusnya”. Golembiewski lebih menegaskan pendapat Henry bahwa  memahami administrasi negara melalui pemahaman paradigma akan sampai kepada pengetahuan tentang lokus dan fokus dari bidang yang digeluti, sehingga administrasi negara akan dapat lebih dipahami secara spesifik.
Upaya pemahaman dan menganalisis terhadap perkembangan ilmu administrasi negara ini telah dilakukan dengan berbagai cara, seperti yang dilakukan oleh Golembiewski dalam Kartasasmita (1997:19) :
Melalui metode pendekatan matriks locus dan focus yang menghasilkan empat fase dalam perkembangan ilmu administrasi negara. Fase-fase tersebut adalah (1) fase perbedaan analitik politik dari administrasi, (2) fase perbedaan konkrit politik dari administrasi, (3) fase ilmu manajemen, dan (4) fase orientasi terhadap kebijakan publik. Dan tiga paradigma komprehensif dalam perkembangan ilmu administrasi negara, yaitu (1) paradigma tradisional, (2) paradigma sosial psikologi, dan (3) paradigma kemanusiaan (humanist/ systemics).

Berdasarkan pendapat Golembiewski tentang pendekatan matriks lokus dan fokus, perkembangan ilmu administrasi negara dapat diklasifikasikan ke dalam empat fase. Hal ini penting diketahui agar kronologis perkembangan administrasi negara dan sumbangannya terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara dapat terlacak dari waktu ke waktu. 
Pendapat lain dalam menganalisis perkembangan ilmu administrasi negara ini adalah pandangan Bailey yang dikemukakan oleh Nicholas Henry dalam Kartasasmita (1997:19) :
Bahwa untuk analisis administrasi negara sebagai ilmu harus diterapkan empat teori, yaitu teori deskriptif, normatif, asumtif dan instrumental, dengan tiga soko guru pengertian ( defining pillars ) administrasi negara, yaitu (1) perilaku organisasi dan perilaku manusia dalam organisasi publik, (2) teknologi manajemen dan lembaga-lembaga pelaksana kebijaksanaan, dan (3) kepentingan publik yang berkaitan dengan perilaku etis individual dan urusan publik.Dan lima paradigma yang berkembang dalam administrasi negara, yaitu (1) dikotomi politik/ administrasi, (2) prinsip-prinsip administrasi, (3) administrasi negara sebagai ilmu politik, (4) administrasi negara sebagai ilmu manajemen, dan (5) administrasi negara sebagai administrasi negara.

Pendapat Henry ini juga menekankan, dalam upaya untuk memahami administrasi negara ini, disamping dilakukan melalui berbagai kajian teori, maka perlu dipahami pula melalui pemahaman paradigma. Pada dasarnya apa yang dikemukakan Henry seirama dengan yang dikemukakan Golembiewsky.
Berbagai pandangan, teori dan paradigma tersebut akan mengenalkan ciri-ciri yang dapat dipergunakan untuk mengidentifikasi administrasi negara.  Ciri-ciri administrasi negara ini dikemukakan Thoha (2008:36-38), sebagai berikut :
Pertama, administrasi negara adalah suatu kegiatan yang tidak bisa dihindari (unavoidable). Setiap orang selama hidupnya selalu berhubungan dengan administrasi negara. Mulai dari lahir sampai meninggal dunia, orang tidak bisa melepaskan diri dari sentuhan kegiatan  administrasi negara, baik warga negara ataupun orang asing.
Kedua, administrasi negara memerlukan adanya kepatuhan. Dalam hal ini administrasi negara mempunyai monopoli untuk mempergunakan  wewenang dan kekuasaan yang ada padanya untuk memaksa setiap warga negara mematuhi peraturan-peraturan dan segala perundangan yang telah ditetapkan.
Ketiga, administrasi negara mempunyai prioritas. Banyak kegiatan yang bisa dilakukan oleh administrasi negara. Dari sekian banyaknya tersebut tidak lalu semuanya diborong olehnya. Prioritas diperlukan untuk mengatur pelayanan terhadap masyarakat.
Keempat, administrasi negara mempunyai ukuran yang tidak terbatas. Besar lingkup kegiatan administrasi negara meliputi seluruh wilayah negara, di darat, di laut dan di udara.
Kelima, pimpinan atasnya (top management) bersifat politis. Administrasi negara dipimpin oleh pejabat-pejabat politik. Hal ini berarti pimpinan tertinggi dari administrasi negara dijabat oleh pejabat yang dipilih atau diangkat berdasarkan ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Keenam,  pelaksanaan administrasi negara adalah sangat sulit diukur. Oleh karena kegiatan administrasi negara sebagiannya bersifat politis dan tujuan di antaranya untuk mencapai perdamaian, keamanan, kesehatan, pendidikan, keadilan, kemakmuran, pertahanan, kemerdekaan, dan persamaan, maka hal tersebut tidak mudah untuk diukur.
Ketujuh, banyak yang diharapkan dari administrasi negara. Dalam hubungan ini akan terdapat dua standar penilaian. Satu pihak masyarakat menghendaki administrasi negara berbuat banyak untuk memenuhi kebutuhan mereka. Di pihak lain administrasi negara mempunyai kemampuan, keahlian, dana, dan sumber-sumber lain yang terbatas.
Uraian ciri-ciri administrasi negara tersebut lebih menunjukkan  betapa besar sekali kekuasaan negara dan bersifat monopoli, padahal di lain pihak akuntabilitas terhadap pelaksanaan tugasnya sulit diukur, maka terhadap hal tersebut banyak sekali pandangan dan pendapat dari para intelektual muda yang menginginkan perubahan orientasi public administration (administrasi negara), dari lebih memerankan negara menjadi lebih memerankan rakyat. 
Wilson dalam menyikapi konsep administrasi Negara ini,  memberikan saran dalam Thoha ( 2008:72 ) :
Agar pemerintahan itu mempunyai struktur mengikuti model bisnis yakni mempunyai eksekutif otoritas, pengendalian (controlling), yang amat penting mempunyai struktur organisasi hierarki, dan upaya untuk melaksanakan kegiatan mewujudkan tujuan itu dilakukan secara efisien. Konsep seperti ini yang dikenal sebagai “the Old of Public Administration”. Tugasnya adalah melaksanakan kebijakan dan memberikan pelayanan. Tugas semacam ini dilaksanakan dengan netral, profesional dan lurus (faithfully) mengarah kepada tujuan yang telah ditetapkan.

Pendapat Wilson tersebut menekankan agar konsep ilmu administrasi negara yang berjalan selama ini perlu mengadopsi struktur model bisnis, yang berintikan efisiensi, dan konsep tersebut dikenal dengan istilah the old of Public administration. Thoha (2008:73-74) menyimpulkan  ide inti dari the old of Public administration adalah sebagai berikut :
1.      Titik perhatian pemerintah adalah pada jasa pelayanan yang diberikan langsung oleh dan melalui instansi-instansi pemerintah yang berwenang.
2.      Public policy dan administration berkaitan dengan merancang dan melaksanakan kebijakan-kebijakan untuk mencapai tujuan-tujuan politik.
3.      Administrasi publik hanya memainkan peran yang lebih kecil dari proses pembuatan kebijakan-kebijakan pemerintah ketimbang upaya untuk melaksanakan (implementation) kebijakan publik.
4.      Upaya memberikan pelayanan harus dilakukan oleh para administrator yang bertanggung jawab kepada pejabat politik dan yang diberikan diskresi terbatas untuk melaksanakan tugasnya.
5.      Para administrator bertanggung jawab kepada pemimpin politik yang dipilih secara demokratis.
6.      Program-program kegiatan diadministrasikan secara baik melalui garis hierarki organisasi dan dikontrol oleh para pejabat dari hierarki atas organisasi.
7.      Nilai-nilai utama (the primary values) dari administrasi publik adalah efisiensi dan rasionalitas.
8.      Administrasi publik dijalankan sangat efisien dan sangat tertutup, karena itu warga negara keterlibatannya amat terbatas.
9.      Peran dari administrasi publik dirumuskan secara luas seperti planning, organizing, staffing, directing, coordinating, reporting, budgeting.

Berdasarkan uraian di atas, bahwa administrasi publik generasi lama lebih menekankan kepada kepentingan politik dan memberi porsi yang kecil kepada peran masyarakat, dengan keterlibatan masyarakat yang sangat terbatas, sehingga sangat dirasakan ruang gerak partisipasi masyarakat sangat sempit, yang pada gilirannya pelayanan kepada masyarakat sangat tidak memuaskan.

Lantas apa definisi dari administrasi publik, yang saat ini sebagai ilmu berkembang dengan pesat. Pengertian administrasi publik dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Administrasi_publik :
Administrasi publik adalah suatu bahasan ilmu sosial yang mempelajari tiga elemen penting kehidupan bernegara, yang meliputi lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif serta hal-hal yang berkaitan dengan publik yang meliputi  kebijakan publik, tujuan negara dan etika dalam mengatur penyelenggaraan negara. Lokusnya adalah tempat yang menggambarkan di mana ilmu tersebut berada, yaitu kepentingan publik (public interest) dan urusan publik (public affair), serta fokusnya adalah apa yang menjadi pembahasan penting dalam mempelajari ilmu administrasi publik,yaitu teori organisasi dan ilmu manajemen.
Inti pengertian tersebut di atas adalah bahwa administrasi publik mempelajari pemerintahan dalam arti luas, yaitu meliputi lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif serta terkait dengan masalah publik, yang meliputi tiga hal, yaitu kebijakan publik, tujuan negara dan etika dalam tata cara penyelenggaraan negara.
John M. Pffifner dan Robert V. Presthus memberikan definisi tentang administrasi public dalam Syafiie, Tandjung dan Modeong ( 2006:24,25 ) :
1.      Public Administration involves the implementation of public policy which has been determine by representatative political bodies.
2.      Public Administration may be defined as the coordination individual and group efforts to carry out public policy. It is, mainly accupied with the daily work of governments.
3.      In sum, public administration is a process concerned with carrying out public policies, encompassing innumerable skills and techniques large numbers of people.

Definisi dari Pfiffner dan Presthus tersebut kalau dialihbahasakan adalah :
1.      Administrasi Publik meliputi implementasi kebijakan pemerintah yang telah ditetapkan oleh badan perwakilan politik.
2.      Administrasi Publik dapat didefinisikan sebagai koordinasi usaha-usaha perorangan dan kelompok untuk melaksanakan kebijakan pemerintah. Hal ini terutama meliputi pekerjaan sehari-hari pemerintah.
3.      Secara global, administrasi public adalah sebuah proses yang bersangkutan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah, pengarahan kecakapan teknik-teknik yang tidak terhingga jumlahnya, memberikan arah dan maksud terhadap usaha sejumlah orang.
Berdasarkan definisi dari Pfiffner dan Presthus, administrasi publik sangat berkaitan dengan segala kebijakan pemerintah, yang merupakan implementasi dari keputusan Badan Perwakilan Politik. Pengertian administrasi publik juga dikemukakan oleh Soempono pada saat pidato pengukuhannya sebagai guru besar di Universitas Gajah Mada dalam Thoha (2008:44) :
Administrasi negara atau public administration biasanya yang dimaksud ialah bagian dari keseluruhan lembaga-lembaga dan badan-badan dalam pemerintahan negara sebagai bagian dari pemerintah eksekutif baik di pusat maupun di daerah yang tugas kegiatannya terutama melaksanakan kebijaksanaan pemerintah (public policy).

Pendapat Soempono tersebut dengan tegas menjelaskan bahwa administrasi negara adalah badan- badan pemerintah, baik di pusat ataupun di daerah yang kegiatannya terutama melaksanakan kebijakan pemerintah. Thoha  (2008:44) menambahkan :
Walaupun public administration diterjemahkan administrasi negara sebagai perwujudan perhatiannya pada kegiatan negara, akan tetapi Soempono juga telah mengingatkan bahwa pelaksanaan administrasi negara itu ditujukan untuk kepentingan publik/ masyarakat. Dengan demikian, kepentingan masyarakat merupakan titik perhatian utama administrasi negara.

Penjelasan dari Thoha ini menegaskan bahwa pendapat Soempono  tidak hanya menegaskan administrasi negara sebagai aktifitas negara saja, tapi juga terkandung makna bahwa dalam pelaksanaan administrasi negara tersebut diarahkan untuk kepentingan masyarakat. Warsito Utomo mengemukakan pendapatnya tentang pengertian ilmu administrasi publik ini dalam Thoha (2008:52-53) :
Dalam perkembangan konsep ilmu Administrasi Negara maka telah terjadi pergeseran titik tekan dari Administration of Public di mana negara sebagai agen tunggal implementasi fungsi negara/ pemerintahan; Administration for Public yang menekankan fungsi negara/ pemerintahan yang bertugas dalam Public Service; ke Administration by Public yang berorientasi bahwa public demand are differentiated, dalam arti fungsi negara/pemerintah hanyalah sebagai fasilitator, katalisator yang bertitik tekan pada putting the costumers in the driver seat. Dimana determinasi negara/ pemerintah tidak lagi merupakan faktor atau aktor utama atau sebagai driving forces. Dalam hal ini sesungguhnya juga telah terjadi perubahan makna public sebagai Negara, menjadi public sebagai Masyarakat. Bukan lagi terlalu berorientasi kepada aktivitas oleh negara, tetapi oleh, untuk dan kepada masyarakat. Approach atau pendekatan tidak lagi kepada negara tetapi lebih kepada masyarakat atau customer’s oriented atau customer’s approach. Dan hal ini juga sesuai dengan tuntutan perubahan dari government yang lebih menitik beratkan kepada “otoritas” menjadi governance yang menitik beratkan kepada “kompatibilitas” di antara para aktornya, yaitu State (Pemerintah), Private (Sektor Swasta) dan Civil Society (Masyarakat Madani).

Warsito Utomo berpendapat adanya perubahan paradigma dari yang asalnya negara sebagai agen tunggal pelaksanaan fungsi negara/pemerintahan, menjadi hanya berfungsi sebagai fasilitator dan katalisator, dengan memberi peran yang berimbang kepada pemerintah, swasta dan masyarakat. Pendapat ini lebih ditegaskan oleh Thoha (2007:51) :
Sekarang paradigma Ilmu Administrasi Publik dan Manajemen Pemerintahan telah banyak berubah dari yang sarwa negara ke sarwa masyarakat. Oleh karena itu, pemahaman istilah publik seperti yang dilekatkan sebagai predikat pada istilah administration hendaknya dipahami sebagai predikat terhadap proses kepemerintahan yang selaras dengan perubahan paradigma tersebut. Dengan demikian istilah administrasi publik dapat diartikan sebagai administrasi pemerintahan yang dilakukan oleh aparat pemerintah untuk kepentingan masyarakat. Pemahaman seperti ini hakekatnya merupakan jiwa dari ilmu administrasi negara yang sejak pertama kali dikembangkan dan tujuan eksistensinya untuk melayani kepentingan masyarakat pada umumnya.

Pendapat Thoha di atas, disamping menegaskan adanya perubahan paradigma, juga secara tegas menjelaskan tentang definisi administrasi publik, yaitu administrasi pemerintahan yang dilakukan oleh aparat pemerintah untuk kepentingan masyarakat. Titik berat administrasi publik saat ini adalah pelayanan kepada kepentingan rakyat, bukan lagi untuk melayani kepentingan negara/ pemerintah.
Asumsi yang dapat ditarik dari uraian para ahli tersebut adalah bahwa peranan Ilmu Administrasi Publik tersebut sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Persoalan utama yang perlu dipertegas  adalah pemahaman tentang administrasi publik itu, yang pada awalnya banyak dipraktekkan sebagai suatu alat bagi kekuasaan, sehingga nampak seperti sarwa negara, karena sangat kurang memerankan masyarakatnya. Seiring dengan berjalannya sang waktu, orientasi administrasi negara atau administrasi publik kini telah berubah, di mana administrasi publik telah memberikan ruang yang cukup besar dan berimbang antara peran pemerintah, sektor swasta dan masyarakat.
Saat ini sudah banyak pembaharuan pemikiran dan perhatian dari administrasi publik untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat, dengan berbagai konsep maupun implementasinya.  Salah satu bentuk perhatian yang ditunjukkan administrasi publik adalah terhadap tata kepemerintahan yang baik, yang pada gilirannya diharapkan dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat, seperti dikemukakan Thoha (2008:91)  :
Administrasi publik sangat perhatian terhadap terwujudnya tata kepemerintahan yang baik dan amanah. Tata kepemerintahan yang baik (good governance) itu diwujudkan dengan lahirnya tatanan kepemerintahan yang demokratis  dan diselenggarakan secara baik, bersih, transparan dan berwibawa. Tata kepemerintahan yang demokratis menekankan bahwa lokus dan fokus kekuasaan itu tidak hanya berada di pemerintahan saja, melainkan justru harus beralih dan terpusat pada tangan rakyat. Penyelenggaraan tata kepemerintahan yang baik terletak seberapa jauh konstelasi antara tiga komponen, yaitu rakyat, pemerintah dan pengusaha berjalan secara kohesif, selaras, kongruen dan sebanding. Berubahnya sistem keseimbangan antara  tiga komponen tersebut bisa melahirkan berbagai macam penyimpangan termasuk korupsi, kolusi dan nepotisme berikut tidak ditegakkannya hukum secara konsekuen”.

Pendapat Thoha tersebut mengisyaratkan agar seiring dengan perubahan paradigma administrasi publik dari yang awalnya kekuasaan terpusat pada negara kemudian pada perkembangan kini menjadi beralih ke tangan rakyat,  harus dibarengi dengan adanya keseimbangan pada tiga komponen, yaitu rakyat, pemerintah dan pengusaha. Thoha (2007:54) lebih lanjut mengemukakan pendapatnya tentang peran Ilmu Administrasi Publik ke depan :
Menurut saya Ilmu Administrasi Publik merupakan suatu kajian yang sistematis dan tidak hanya sekedar lukisan abstrak akan tetapi memuat perencanaan realitas dari segala upaya dalam menata pemerintahan kepada kepemerintahan yang baik (good governance). Kajian ini meliputi proses pembuatan kebijakan, pelaksanaan kebijakan, dan evaluasi kebijakan. Kebijakan publik yang dibuat oleh negara atau pemerintah bersama dengan rakyat direalisasikan dalam kehidupan nyata, bukannya berhenti sampai pada tingkat slogan seperti beberapa waktu yang lalu. Oleh karena itu, Ilmu Administrasi Publik berkepentingan untuk mengambil peran mewujudkannya.

Peranan administrasi publik dalam menata pemerintahan harus dapat terimplementasikan dalam bentuk kebijakan publik, baik dalam prosesnya, pelaksanaannya maupun evaluasinya, yang dapat direalisasikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, sehingga akan terasa makna perannya tersebut.
Banyak sekali permasalahan dalam kehidupan bernegara yang menuntut perhatian untuk segera ditangani, karena kalau dibiarkan, akan menjadi suatu penyakit kronis di kemudian hari. Masalah-masalah tersebut kadang-kadang ada yang bersifat biasa, namun kadang-kadang pula bersifat fundamental dan pelik, seiring dengan perkembangan dinamika kehidupan masyarakat dan negara.
Upaya administrasi publik dalam memecahkan permasalahan tersebut, diimplementasikan dalam bentuk kebijakan (publik). Kadang-kadang sering terjadi kerancuan antara pengertian kebijakan dan keputusan, seperti dikemukakan Thoha (2008:102) :
Suatu usaha untuk membedakan antara pembuatan kebijakan dengan pembuatan keputusan pada umumnya dan keputusan pemerintah pada khususnya sering dilakukan dengan tanpa memberi kepuasan. Banyak orang menafsirkan bahwa public policy adalah hasil dari suatu pemerintahan dan administrasi negara adalah sarana untuk memengaruhi terjadinya hasil-hasil tersebut. Sehingga dengan demikian public policy lebih diartikan sebagai apa yang dikerjakan oleh pemerintah dibandingkan daripada bagaimana proses hasil-hasil itu dibuat. Proses pembuatan kebijaksanaan atau proses public policy itu tidak mudah. Ia memerlukan suatu rasa tanggung jawab yang tinggi dan suatu kemauan untuk mengambil inisiatif dan risiko.

Asumsi yang dapat diambil dari pendapat tersebut di atas adalah bahwa kebijakan publik itu bukan semata-mata hanya pengambilan keputusan pemerintah, tapi ia adalah sebuah proses yang dilakukan berdasarkan suatu rasa tanggung jawab yang tinggi, disertai kemauan untuk mengambil inisiatif dan penuh risiko. Pengertian kebijakan publik (public policy) banyak dikemukakan para ahli, diantaranya dikemukakan Thoha (2008:106) :
Policy mempunyai dua aspek pokok, yaitu :
1)   Policy merupakan praktika sosial, ia bukan event yang tunggal atau terisolir. Dengan demikian, sesuatu yang dihasilkan pemerintah berasal dari kejadian dalam masyarakat dan dipergunakan pula untuk kepentingan masyarakat.
2)   Policy adalah suatu peristiwa yang ditimbulkan oleh baik yang untuk mendamaikan claim dari pihak-pihak yang konflik, atau untuk menciptakan incentive bagi tindakan bersama bagi pihak-pihak yang ikut menetapkan tujuan akan tetapi mendapatkan perlakuan yang tidak rasional dalam usaha bersama tersebut.  

Pendapat Thoha di atas menegaskan bahwa policy ( kebijakan ) adalah sebuah keputusan pemerintah yang  didasarkan atas kejadian yang ada di masyarakat guna kepentingan masyarakat itu sendiri atau juga dapat berupa upaya-upaya untuk menumbuhkan ketentraman di masyarakat.
Definisi kebijakan publik, dikemukakan Thomas R Dye, dalam Indiahono (2009:17) : “Public policy is whatever government choose to do or not to do” (Kebijakan publik adalah pilihan pemerintah untuk bertindak atau tidak bertindak). Rumusan definisi dari Thomas R Dye ini dikritik beberapa ahli sebagai suatu pengertian yang terlalu umum, dan bahkan dianggap sama dengan pengertian “keputusan”, maka kemudian ada beberapa pendapat lain, diantaranya dari Carl Friedrich dalam Santosa (2008:35) yang mendefinisikan kebijakan publik sebagai : “ Seperangkat tindakan yang dilakukan pemerintah dengan suatu tujuan dan diarahkan untuk mencapai sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan”. Pendapat Carl Friedrich ini mengarah kepada kekuatan yang saling mempengaruhi dan melakukan tekanan kepada para pihak untuk pencapaian tujuan tertentu. Kemudian Anderson dalam Santosa (2008:35) mendefinisikan kebijakan publik sebagai : ”Kegiatan-kegiatan pemerintah untuk mengatasi sesuatu masalah”.
Rumusan-rumusan dari para ahli tersebut masing-masing bukannya tanpa kelemahan, karena memang kebijakan publik tersebut kalau diartikan terlalu umum seperti yang dikemukakan Dye menjadi tidak fokus, tapi bila terlalu ringkas, seperti pendapat Anderson, yang mengatakan sebagai tindakan pemerintah mengatasi masalah, memberi kesan kebijakan publik tersebut bersifat represip, tidak lagi bersifat antisipatif, apalagi perspektif.
Easton dalam Thoha (2008:107) merumuskan tentang kebijakan publik  sebagai berikut : “the authoritative allocation of value for the whole society but it turns out that only the government can authoritatively act on the ‘whole’ society, and everything the government choose to do or not to do results in the allocation of values”. Definisi dari Easton tersebut menyebutkan bahwa kebijakan publik itu sebagai pengalokasian nilai-nilai kepada masyarakat secara keseluruhan, kemudian ditegaskan bahwa hanya pemerintah yang dapat bertindak otoritatif terhadap masyarakat, baik melakukan tindakan atau pembiaran.
Pemerintah sepertinya sah-sah saja bila tidak berupaya mengambil tindakan terhadap berbagai peristiwa yang terjadi di masyarakat. Namun justru disinilah permasalahannya, karena bila pemerintah bersikap diam, berarti pemerintah telah melakukan “pembiaran”, dan hal ini akan menjadi ancaman yang  dapat membahayakan keselamatan masyarakat, seperti mengakibatkan menggejalanya tingkat ketidakdisiplinan masyarakat, amburadulnya perekonomian, bahkan kejahatan dapat merajalela. Implikasi dari suatu kebijakan publik besar sekali pengaruhnya terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Hasil dari suatu kebijakan publik ini agar dapat sesuai atau minimal mendekati harapan masyarakat, maka dalam implementasinya diperlukan suatu administrasi publik yang mempunyai komitmen kuat terhadap kepentingan rakyat, dengan dibimbing oleh suatu kepemimpinan yang sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat. Hal ini diperlukan, apalagi mengingat tantangan yang dihadapi administrasi publik saat ini demikian kompleks, seperti dikemukakan Kartasasmita ( ebook/browse.com/orasi-Ginanjar-pdf ) :
Tantangan besar yang dihadapi administrasi publik dihampir semua negara adalah, prevalensi dari patologi birokrasi, yaitu kecenderungan mengutamakan kepentingan sendiri (self-serving), mempertahankan status- quo dan resisten terhadap perubahan, cenderung terpusat (centralized), dan dengan kewenangannya yang besar, sering kali memanfaatkan kewenangan itu untuk kepentingan sendiri.

Prevalensi atau meratanya dari patologi birokrasi, kalau dibiarkan akan sangat membahayakan tujuan negara, yaitu kesejahteraan masyarakat, karena administrasi publik asyik dengan dirinya sendiri, padahal keberadaannya itu adalah dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat, tapi ini malah sebaliknya. Basuki (hhtp://www.stialan.ac.id/artikel%20j%20Basuki.pdf), menambahkan patologi birokrasi ini, yakni;
(1) kekurangmampuan pimpinan menerapkan gaya kepemimpinan yang tepat; (2) orientasi kekuasaan dan bukan pada pelayanan (3) rendahnya profesionalisme birokrasi pemerintah; (4) primordialisme, kronisme, dan nepotisme; (5) sikap mengabaikan norma-norma moral dan etika; (6) tidak taat azas; (7) perilaku disfungsional para birokrasi, dan (8) budaya organisasi yang tidak kondusif dalam penciptaan, penumbuhan, dan pemeliharaan etos kerja yang tercermin dalam loyalitas kepada negara, disiplin kerja, kepatuhan, dan ketekunan, serta (9) inkonsistensi kebijakan yang berdampak pada makin menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat dan dunia usaha terhadap pemerintah.

Uraian Basuki tentang patologi birokrasi ini demikian menyeramkan, karena semua unsur yang dikemukakan akan berdampak sangat luas terhadap kebijakan publik, yang pada gilirannya akan membahayakan kehidupan bernegara. Gambaran Basuki di atas mencakup pula variabel yang mempengaruhi efektivitas organisasi yang sedang peneliti amati, yaitu butir ke (1) kekurangmampuan pimpinan menerapkan gaya kepemimpinan yang tepat dan butir ke (8) budaya organisasi yang tidak kondusif dalam penciptaan, penumbuhan, dan pemeliharaan etos kerja yang tercermin dalam loyalitas kepada negara, disiplin kerja, kepatuhan dan ketekunan.
Demikian banyaknya penyakit birokrasi ini, sehingga akan menghambat dan menambah beban tugas administrasi publik dalam melaksanakan misinya mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Guna mengatasi hal tersebut, maka perlu dicari formula yang tepat agar kebijakan publik dapat mencapai sasaran yang diharapkan. Basuki (hhtp://www.stialan.ac.id/artikel%20j%20Basuki.pdf) mengemukakan tentang formula tersebut, sebagai berikut :
Salah satu inti permasalahan dalam administrasi publik dan kebijakan publik adalah faktor ”paradigma  kepemimpinan” yang diharapkan memiliki kemampuan memimpin organisasi di masa depan. Berdasarkan perspektif teoritis, para ahli administrasi publik sepakat bahwa kepemimpinan merupakan inti administrasi dan manajemen. Sebagai inti yang memiliki peran sentral, menunjukkan bahwa pada tataran organisasi, kepemimpinan didudukkan pada posisi yang sangat stratejik. Para pemimpin dipercaya, mampu memandu perjalanan organisasi ke arah tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Dalam berbagai kajian dan pengalaman empirik, membuktikan bahwa peran kepemimpinan organisasi menjadi penggerak, pengungkit, pendorong, pelindung, pelayan sekaligus sebagai penanggungjawab berbagai aktivitas organisasi.

Berdasarkan pendapat Basuki tersebut, masalah kepemimpinan sangat strategis dalam penanganan administrasi public dan kebijakan public dan aplikasinya harus beranjak dari pandangan bahwa pemimpin publik harus mengenali secara tepat dan utuh baik mengenai dirinya, bawahannya maupun kondisi dan aspirasi masyarakat yang dipimpinnya, serta perkembangan dan permasalahan lingkungan stratejik yang dihadapi dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk paradigma dan sistem administrasi di mana ia berperan.